Featured Post Today
print this page
Latest Post
Showing posts sorted by relevance for query islam. Sort by date Show all posts
Showing posts sorted by relevance for query islam. Sort by date Show all posts

Muhammad Al-Fatih Sang Penakluk Konstantinopel


Kalau ada sosok yang ditunggu-tunggu kedatangannya sepanjang sejarah Islam, dimana setiap orang ingin menjadi sosok itu, maka dia adalah sang penakluk Konstantinopel. Bahkan para shahabat Nabi sendiri pun berebutan ingin menjadi orang yang diceritakan Nabi SAW dalam sabdanya.
Betapa tidak, beliau Nabi SAW memang betul-betul memuji sosok itu. Beliau bersabda “Kota Konstantinopel akan jatuh ke tangan Islam. Pemimpin yang menaklukkannya adalah sebaik-baik pemimpin dan pasukan yang berada di bawah komandonya adalah sebaik-baik pasukan.” [H.R. Ahmad bin Hanbal Al-Musnad 4/335].

Dari Abu Qubail berkata: Ketika kita sedang bersama Abdullah bin Amr bin al-Ash, dia ditanya: Kota manakah yang akan dibuka terlebih dahulu; Konstantinopel atau Rumiyah (Roma)? Abdullah meminta kotak dengan lingkaran-lingkaran miliknya. Kemudian dia mengeluarkan kitab. Abdullah berkata: Ketika kita sedang menulis di sekitar Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, beliau ditanya: Dua kota ini manakah yang dibuka lebih dulu: Konstantinopel atau Rumiyah/Roma? Rasul menjawab, “Kota Heraklius dibuka lebih dahulu.” Yaitu: Konstantinopel. (HR. Ahmad, ad-Darimi, Ibnu Abi Syaibah dan al-Hakim)

Hadits ini dishahihkan oleh al-Hakim. Adz-Dzahabi sepakat dengan al-Hakim. Sementara Abdul Ghani al-Maqdisi berkata: Hadits ini hasan sanadnya.

Sabda Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam di hadapan para Shahabatnya empat belas abad yang lalu. Delapan abad setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata demikian, apa yang beliau kabarkan benar-benar terjadi. Benteng Konstantinopel yang terkenal kuat dan tangguh itu, akhirnya takluk di tangan kaum muslimin. Para Ulama’, di antaranya Syeikhul Islam Ibnu Taimiyyah menyebutkan, “Di antara Dalaa’il Nubuwwah atau tanda-tanda kenabian Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam adalah sabda beliau yang menceritakan kejadian-kejadian yang akan terjadi di masa depan.” (1)

Berikut sebuah kisah sejarah tentang umat islam yang jauh sebelumnya telah dijanjikan dalam Hadits Nabi Muhammad SAW. Dan terbukti setelah 8 abad kemudian, inilah salah satu mukjizat Rasulullah SAW.

Ada dua kota yang disebut dalam nubuwwat nabi di hadits tersebut:

1. Konstantinopel

Kota yang hari ini dikenal dengan nama Istambul, Turki. Dulunya berada di bawah kekuasaan Byzantium yang beragama Kristen Ortodoks. Tahun 857 H / 1453 M, kota dengan benteng legendaris tak tertembus akhirnya runtuh di tangan Sultan Muhammad al-Fatih, sultan ke-7 Turki Utsmani.

Konstantinopel, adalah salah satu bandar terkenal di dunia. Semenjak kota ini didirikan oleh maharaja Bizantium yakni Constantine I, ia sudah menyita perhatian masyarakat dunia saat itu; selain karena faktor wilayahnya yang luas, besar bangunannya, kemegahan dan keindahan arsitekturnya, Konstantinopel juga memiliki kedudukan yang strategis. Hal ini yang membuatnya juga mempunyai tempat istimewa ketika umat Islam memulai perkembangannya di masa Kekaisaran Bizantium. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah memberikan kabar gembira tentang penguasaan kota ini ke tangan umat Islam, seperti dinyatakan oleh beliau dalam hadistnya.

Dibalik kemegahan Kota ini, Konstantinopel juga dikenal memiliki pertahanan militer yang terkenal kuat. Benteng raksasa yang berdiri kokoh, disertai para prajurit yang siap dengan berbagai macam senjatanya, selalu siap menyambut setiap pasukan yang hendak menyerang benteng ini. Tidak ketinggalan, galian parit yang besar membentang mengitari benteng ini, semakin menambah kesan bahwa kota ini mustahil ditaklukkan. Cukuplah kegagalan-kegagalan ekspedisi jihad umat Islam sebelumnya untuk menguasai kota ini, sebagai bukti akan ketangguhan pertahanannya. (2)
2. Rumiyah

Dalam kitab Mu’jam al-Buldan dijelaskan bahwa Rumiyah yang dimaksud adalah ibukota Italia hari ini, yaitu Roma

Kontantinopel telah dibuka 8 Abad setelah Rasulullah menjanjikan nubuwwat tersebut. Tetapi Roma, hingga hari ini belum kunjung terlihat bisa dibuka oleh muslimin. Ini menguatkan pernyataan Nabi dalam hadits di atas. Bahwa muslimin akan membuka Konstantinopel lebih dulu, baru Roma.

Itu artinya, sudah 15 Abad sejak Rasul menyampaikan nubuwwatnya tentang penaklukan Roma, hingga kini belum juga Roma jatuh ke tangan muslimin.

Setiap pahlawan Islam selalu bercita-cita untuk menjadi orang yang dimaksud Rasulullah saw dalam haditsnya sebagai panglima yang terbaik dan tentaranya tentara yang terbaik dan membebaskan Konstantinopel agar terbebas dari kekuasaan Romawi.

Sudah sejak Rasulullah saw masih hidup, beliau sudah berupaya menjadikan penguasa di Konstatinopel menjadi muslim. Selembar surat ajakan masuk Islam dari nabi SAW telah diterima Kaisar Heraklius di kota ini.

Dari Muhammad utusan Allah kepada Heraklius raja Romawi.

Bismillahirrahmanirrahim, salamun ‘ala manittaba’al-huda, Amma ba’du,

“Sesungguhnya Aku mengajak anda untuk memeluk agama Islam. Masuk Islamlah Anda akan selamat dan Allah akan memberikan Anda dua pahala. Tapi kalau Anda menolak, Anda harus menanggung dosa orang-orang Aritsiyyin.”


Dikabarkan bahwa saat menerima surat ajakan masuk Islam itu, Kaisar Heraklius cukup menghormati dan membalas dengan mengirim hadiah penghormatan. Namun dia mengakui bahwa dirinya belum siap untuk memeluk Islam.

Kota benteng

Kekaisaran Romawi terpecah dua, Katholik Roma di Vatikan dan Yunani Orthodoks di Byzantium. Perpecahan tersebut sebagai buntut dari konflik gereja meskipun dunia masih tetap mengakui keduanya sebagai pusat peradaban kristen. Constantine The Great memilih kota di selat Bosphorus tersebut sebagai ibukota, dengan alasan strategis karena berada di perbatasan Eropa dan Asia, baik di darat karena dilalui Jalur Sutera maupun di laut karena berada diantara Laut Tengah dengan Laut Hitam dan dianggap sebagai titik terbaik sebagai pusat kebudayaan dunia, setidaknya pada kondisi geopolitik saat itu.
Banyak bangsa mengincar kota ini untuk dikuasai diantaranya bangsa Gothik, Avars, Persia, Bulgar, Rusia, Khazah, Arab-Muslim dan Pasukan Salib meskipun misi awalnya adalah menguasai Jerusalem. Arab-Muslim terdorong ingin menguasai Byzantium tidak hanya karena nilai strategisnya, tapi juga atas kepercayaan kepada ramalan Rasulullah SAW melalui riwayat Hadits di atas.

Sayangnya, prestasi yang satu itu, yaitu menaklukkan kota kebanggaan bangsa Romawi, Konstantinopel, tidak pernah ada yang mampu melakukannya. Tidak dari kalangan sahabat, tidak juga dari kalangan tabi`in, tidak juga dari kalangan khilafah Bani Umayyah dan Bani Abbasiyah.

Di masa sahabat, memang pasukan muslim sudah sangat dekat dengan kota itu, bahkan salah satu anggota pasukannya dikuburkan di seberang pantainya, yaitu Abu Ayyub Al-Anshari radhiyallahuanhu. Tetapi tetap saja kota itu belum pernah jatuh ke tangan umat Islam sampai 800 tahun lamanya.

Konstantinopel memang sebuah kota yang sangat kuat, dan hanya sosok yang kuat pula yang dapat menaklukkannya. Sepanjang sejarah kota itu menjadi kota pusat peradaban barat, dimana Kaisar Heraklius bertahta. Kaisar Heraklius adalah penguasa Romawi yang hidup di zaman Nabi SAW, bahkan pernah menerima langsung surat Ajakan masuk Islam dari beliau SAW.

Ajakan Nabi SAW kepada sang kaisar memang tidak lantas disambut dengan masuk Islam. Kaisar dengan santun memang menolak masuk Islam, namun juga tidak bermusuhan, atau setidaknya tidak mengajak kepada peperangan.

Konstantinopel merupakan salah satu kota terpenting di dunia, kota yang sekaligus benteng ini dibangun pada tahun 330 M oleh Kaisar Byzantium yaitu Constantine I. Konstaninopel memiliki posisi yang sangat penting di mata dunia. Sejak didirikannya, pemerintahan Byzantium telah menjadikannya sebagai ibukota pemerintahan Byzantium. Konstantinopel merupakan salah satu kota terbesar dan benteng terkuat di dunia saat itu, dikelilingi lautan dari tiga sisi sekaligus, yaitu selat Bosphorus, Laut Marmarah dan Tanduk Emas (golden horn) yang dijaga dengan rantai yang sangat besar, hingga tidak memungkinkan untuk masuknya kapal musuh ke dalamnya. Di samping itu, dari daratan juga dijaga dengan pagar-pagar sangat kokoh yang terbentang dari laut Marmarah sampai Tanduk Emas. Memiliki satu menara dengan ketinggian 60 kaki, benteng-benteng tinggi yang pagar bagian luarnya saja memiliki ketinggian 25 kaki, selain tower-tower pemantau yang terpencar dan dipenuhi tentara pengawas. Dari segi kekuatan militer, kota ini dianggap sebagai kota yang paling aman dan terlindungi, karena di dalamnya ada pagar-pagar pengaman, benteng-benteng yang kuat dan perlindungan secara alami. dengan demikian, maka sangat sulit untuk bisa diserang apalagi ditaklukkan.
Kedudukan Konstantinopel yang strategis diillustrasikan oleh Napoleon Bonaparte; “…..kalaulah dunia ini sebuah negara, maka Konstantinopel inilah yang paling layak menjadi ibukota negaranya!“.

Biografi Singkat

Sultan Mehmed II atau juga dikenal sebagai Muhammad Al-Fatih (bahasa Turki Ottoman: م *مد ثانى Mehmed-i sānī, bahasa Turki: II. Mehmet, juga dikenal sebagai el-Fatih (الفات *), "sang Penakluk", dalam bahasa Turki Usmani, atau, Fatih Sultan Mehmet dalam bahasa Turki;
Sultan Muhammad Tsaniy atau yang lebih dikenal dengan Sultan Muhammad Al Fatih, dilahirkan pada tanggal 26 Rajab tahun 833 H, bertepatan dengan tanggal 20 April 1429 M. Beliau menghabiskan masa kecilnya di kota Adrenah. Ayah beliau, betul-betul mendidik beliau agar menjadi seorang pemimpin kuat lagi saleh. Sultan Murad II melatih dan mendidik anaknya itu dari segala segi. Dalam bidang kesatriaan, beliau dilatih seni berpedang, memanah, dan keterampilan mengendarai kuda. Tidak kalah penting, dalam bidang keagamaan, Ayah beliau mendatangkan beberapa Ulama’ pilihan di zamannya untuk mendidik agama beliau, di antaranya adalah Syekh Ahmad bin Ismail Al-Kuroniy, seorang pakar fikih yang juga memiliki pengetahuan yang dalam dalam bidang ilmu Nahwu, Ma’ani, dan Bayan. Beliau adalah seorang ulama’ yang diakui keilmuannya oleh para ulama’ lainnya yang hidup di masanya. Bahkan Muhammad al-Fatih menyebutnya sebagai “Abu Hanifah zamannya”. Di samping itu, Muhammad al-fatih juga mewarisi sikap pemberani dan tidak mudah putus asa dari ayahnya. Beliau mempelajari ilmu perang, strategi pertempuran, teknik mengepung kota dan beberapa wawasan kemiliteran lainnya. Muhammad al-Fatih juga gemar mempelajari sejarah Islam mulai dari zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam hingga zaman beliau hidup saat itu, kisah sejarah yang dipenuhi kisah-kisah kepahlawanan dan kesatriaan para pahlawan Islam. Hal-hal yang kelak mendukung langkah beliau dalam pertempuran untuk menaklukkan benteng Konstantinopel.

Muhammad al-Fatih pun tumbuh menjadi seorang pemuda yang perkasa dan saleh di bawah didikan ayah dan guru-gurunya. Tinggi badannya sedang-sedang saja, namun anggota tubuh beliau menceritakan keperkasaannya. Muhammad al-Fatih sangat mahir mengendarai kuda dan pandai memainkan senjata. Beliau dikenal sebagai sosok yang pemberani, adil dalam memutuskan perkara, dalam pengetahuan agama dan sastranya, zuhud lagi wara’ terhadap dunia, serta memiliki pandangan ke depan yang tajam. Sang penakluk Konstantinopel ini juga sangat rajin beribadah. Beliau jarang sekali shalat kecuali di Masjid Jami’. Beliau juga dikenal sebagai penguasa yang dekat dengan Ulama’. (3)

Semenjak kecil, Sultan Muhammad telah mengamati upaya-upaya ayahnya, Sultan Murad II, untuk menaklukkan Konstantinopel. Beliau juga mengkaji usaha-usaha yang pernah dibuat sepanjang sejarah Islam ke arah itu, sehingga menimbulkan keinginan yang kuat dalam dirinya untuk meneruskan cita-cita umat Islam. Ketika beliau naik tahta -pada usia yang sangat muda- menggantikan ayahnya pada tahun 855 H, beliau mulai berpikir dan menyusun strategi untuk menaklukkan Konstantinopel. (4)



Beliau merupakan seorang sultan Turki Utsmani yang menaklukkan Kekaisaran Romawi Timur. Mempunyai kepakaran dalam bidang ketentaraan, sains, matematika & menguasai 7 bahasa yaitu Bahasa Arab, Latin, Yunani, Serbia, Turki, Persia dan Israil. Beliau tidak pernah meninggalkan Shalat fardhu, Shalat Sunat Rawatib dan Shalat Tahajjud sejak baligh. Beliau wafat pada 3 Mei 1481 kerana sakit gout sewaktu dalam perjalanan jihad menuju pusat Imperium Romawi Barat di Roma, Italia. Dari sudut pandang Islam, ia dikenal sebagai seorang pemimpin yang hebat, pilih tanding, dan tawadhu'' setelah Sultan Salahuddin Al-Ayyubi (pahlawan Islam dalam perang Salib) dan Sultan Saifuddin Mahmud Al-Qutuz (pahlawan Islam dalam peperangan di ''Ain Al-Jalut" melawan tentara Mongol).

Usaha Sultan dalam Menaklukan Konstantinopel
Istanbul atau yang dulu dikenal sebagai Konstantinopel, adalah salah satu bandar termasyhur dunia. Bandar ini tercatat dalam tinta emas sejarah Islam khususnya pada masa Kesultanan Utsmaniyah, ketika meluaskan wilayah sekaligus melebarkan pengaruh Islam di banyak negara. Bandar ini didirikan tahun 330 M oleh Maharaja Bizantium yakni Constantine I. Kedudukannya yang strategis, membuatnya punya tempat istimewa ketika umat Islam memulai pertumbuhan di masa Kekaisaran Bizantium. Rasulullah Shallallahu ''Alaihi Wasallam juga telah beberapa kali memberikan kabar gembira tentang penguasaan kota ini ke tangan umat Islam seperti dinyatakan oleh Rasulullah Shallallahu ''Alaihi Wasallam pada perang Khandaq.

Keseriusan para Sahabat, para Khalifah serta para Sulthan dalam menaklukkan Konstantinopel. Ketika para sahabat mendengar langsung dari bibir mulia Rasulullah Muhammad SAW pada saat perang Khandaq tentang akan ditaklukkannya Kota Konstantinopel seperti tertera pada nukilan hadits diatas, para Sahabat mafhum, merasa sangat bersemangat dan kemudian berlomba-lomba dengan diiringi gemuruh kerinduan yang ada pada dada-dada mereka bersegera merealisasikan janji Allah dan RasulNya untuk mengambil bagian dalam upayanya menaklukkan Konstantinopel. Sebagai salah satu bukti adalah Syahidnya salah seorang Sahabat Rasulullah SAW yang bernama Abu Ayyub Al Anshori (ridho Allah senantiasa menyertainya) dipinggir kota Konstantinopel pada masa pemerintahan Khalifah Muawwiyah bin Abi Sofyan dalam rangka menaklukkan benteng sekaligus kota terkuat, yang konon sangat sulit untuk ditaklukkan oleh negara manapun di dunia saat itu.
Usaha pertama untuk mengepung Konstantinopel dilakukan pada tahun 34 H. / 654 M. pada masa pemerintahan Usman bin Affan. Dia mengirimkan Muawiyah bin Abu Sofyan r.a. dengan pasukan yang besar untuk mengepung dan menaklukkannya. Tetapi mereka pulang dengan tangan hampa disebabkan oleh kokohnya pertahanan Konstantinopel.

Pada masa Bani Umayah tercatat 2 serangan penting yang dilancarkan :

Pujian Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam kepada raja dan tentara yang berhasil menaklukkan Konstantinopel, benar-benar melecut semangat jihad para pemimpin serta mujahidin yang hidup setelah beliau.

Pertama Adalah pada masa Khalifah Muawwiyah bin Abi Sofyan pada tahun 44 H di bawah komando anaknya Yazid. Beliaulah “peletak batu pertama” pada proyek agung penaklukkan kota Konstantinopel. Turut serta dalam pasukan ini Abu Ayyub al-Anshari, seorang shahabat Rasulullah yang pemberani. Namun usaha ini menemui kegagalan. Abu Ayyub al-Anshari akhirnya gugur ketika mengikuti pertempuran ini. Sebelum beliau wafat, beliau sempat berpesan kepada panglima Bani Umayyah; jika ia wafat, ia ingin sekali dikuburkan di bawah tembok benteng Konstantinopel (Jika wafat ia meminta jasadnya dimakamkan di titik terjauh yang bisa dicapai oleh kaum muslim.). Pasukan muslimin pun menjalankan wasiat beliau; mereka menyerbu musuh sambil membawa jasad Abu Ayyub al-Anshari, hingga ketika mereka sampai ke tembok benteng Konstantinopel, para mujahidin menggali lobang, dan menguburkan beliau di situ, sesuai permintaan terakhir beliau (5).

Kedua: adalah yang dilakukan pada masa Sulthan Sulaiman bin Abdul Malik tahun 98 H . Pada saat itu dia mengirimkan pasukan tentara sejumlah 20.000 orang dan sekitar seratus perahu untuk mengepung dan menaklukkan Konstantinopel. Pengepungan Konstantinopel berlangsung berbulan bulan dengan pasukan yang dalam kondisi kelaparan yang mengenaskan karena keinginan kuat sang khalifah dalam menaklukkan Konstantinopel. Tetapi usaha itu belum juga berhasil akibat suhu udara yang sangat dingin. Pasukan itu kemudian ditarik mundur oleh Umar bin Abdul Aziz setelah dirinya menggantikan Sulaiman bin Abdul Malik yang mangkat pada saat tentara masih berada di medan pertempuran.


Upaya yang sama juga dilakukan pada zaman Khalifah Umayyah. Di zaman Khalifah Abbasiyyah, misi yang sama juga di lakukan namun belum menuai kesuksesan, termasuk di zaman Khalifah Harun Arrasyid. Setelah kejatuhan Baghdad 656 H, usaha menawan Konstantinopel diteruskan oleh kerajaan-kerajaan kecil di Asia Timur terutama kerajaan Seljuk. Pemimpinnya Alp Arselan berhasil mengalahkan Kaisar Roma, Dimonus, pada tahun 463 H. Akibatnya sebagian besar wilayah kekaisaran Roma takluk di bawah pengaruh Islam Seljuk. Beberapa usaha untuk menaklukkan Konstantinopel juga dilakukan oleh para pemimpin Daulah Utsmaniyyah. Sultan Murad II juga pernah melakukan beberapa kali pengepungan ke benteng tersebut, namun belum menuai hasil. Hingga akhirnya Allah subhanahu wa ta’ala mewujudkan impian kaum muslimin untuk menaklukkan benteng tersebut melalui tangan pemimpin ke-7 Daulah Utsmaniyyah yang terkenal akan kesalehan dan ketakwaannya kepada Allah. Dikisahkan bahwa tentaranya tidak pernah meninggalkan shalat wajib sejak baligh dan separuh dari mereka tidak pernah meninggalkan solat tahajjud sejak baligh. Sang Sultan sendiri tidak pernah meninggalkan solat wajib, tahajjud dan rawatib sejak baligh hingga saat kematiannya.

Di samping ketakwaan Sultan dan tentaranya kepada Allah, mereka memiliki semangat jihad yang tinggi, pantang menyerah, dan tidak takut mati. Mereka juga berhasil memainkan taktik perang yang luar biasa. Untuk pertama kalinya dalam sejarah umat manusia, Sultan dan pasukannya bisa membuat kapal-kapal laut berjalan di atas daratan. Rute darat yang dilalui kapal-kapal Turki bukanlah rute yang mudah. Selain harus melewati jalan yang terjal, jarak yang harus ditempuh pun tidak pendek.(6)


 Footnote:

(1) Lihat: Dalaa’il Nubuwwah, karya Syeikhul Islam Ibnu Taymiyyah hal 46.
(2) Lihat: As-Sulthon Muhammad al-Fatih, karya Dr. Abdus Salam Abdul Aziz Fahmi, hal 43 dan Mehmed II di www.Wikipedia.com
(3) Periksa: As-Sulthon Muhammad al-Fatih, karya Dr. Abdus Salam Abdul Aziz Fahmi
(4) Lihat: Mehmed II di www.Wikipedia.com
(5) Lihat: Shuwar Min hayatis Shohabah, karya Dr. Abdur Rahman Raf’at Pasya hal 73.
(6) Periksa: Sulthan Muhammad al-Fatih, karya Abdus Salam Abdul Aziz Fahmi dan Mehmed II di www.Wikipedia.com
0 Comment

Panduan Sex Islami


Ada yang aneh dengan hubungan Doni dan Sinta di mata orang tua mereka, tak seperti kebanyakan pasangan pengantin baru yang biasanya mesra, mereka malah menunjukkan sikap sedang kesal berkepanjangan. Terutama Doni yang sepertinya punya ketidakpuasan tersendiri terhadap istrinya. Pasangan yang baru menikah dua bulan ini ternyata mengalami problem yang tabu untuk diceritakan kepada siapapun bahkan orangtua mereka sendiri. Apalagi kalau bukan urusan jurus-jurus cinta yang terlalu pribadi untuk dieksploitasi.
Masalahnya, Doni punya fantasi tersendiri dalam memainkan ‘senjatanya’ di depan istrinya. Dia ingin melakukan pemanasan dengan oral seks. Entahlah dari mana dia mendapat inspirasi seperti itu, mungkin sebelum menikah dia sering atau setidaknya pernah menyaksikan adegan pertarungan ranjang ala triple X baik itu dari internet maupun video porno yang sempat bebas dibeli di beberapa tempat di ibukota. Sehingga, ketika menikah dia ingin mempraktikkan jurus yang dipelajarinya secara tidak langsung itu kepada sang istri.
Sayangnya, Sinta sang istri merasa aneh dengan permainan itu. Maklumlah sebagai anak pengajian alumni pesantren yang jarang berinteraksi dengan hal-hal berbau porno ala kehidupan anak (salah) gaul membuatnya tabu melihat permainan yang aneh-aneh. Dia beranggapan gaya seperti itu tidak diperbolehkan, karena bertentangan dengan norma, bahkan mungkin saja bertentangan dengan agama.
Benarkah demikian? Salahkah si Doni melampiaskan birahinya kepada sang istri yang halal dengan gaya yang tak biasa ini? Yang pasti Doni memang salah karena pernah menonton film biru, tapi apa daya itu sudah terjadi, yang penting dia tidak mempraktikkannya di tempat-tempat yang haram. Lalu bagaimana Islam memandang gaya bercinta dan variasi tak biasa seperti ini? Dalam edisi kali ini kami mencoba mengetengahkan tuntunan syar’i berdasarkan Al-Qur`an dan hadits Nabi. Masalah yang seharusnya sudah dimengerti oleh pemuda maupun pemudi, bahkan juga oleh pasangan suami istri yang bisa jadi belum pernah mengetahui hal ini.
Agama Islam bukan hanya agama yang mengatur tata cara ibadah hamba kepada Tuhannya, melainkan juga segala aspek kehidupan, termasuk masalah seks. Masalah satu ini memang sangat pribadi, ya pribadi ketika melakukan, tapi dampaknya kadang terlihat keluar.
Kemaluan atau kehormatan dalam Islam adalah milik insan yang paling berharga, bahkan dalam beberapa kasus dia lebih dihargai daripada nyawa. Hubungan kelamin adalah fitrah manusia, bahkan fitrahnya makhluk hidup, sampai-sampai tumbuhan saja punya sifat untuk kawin.
Itulah sebabnya Islam sebagai agama yang komprehensif mengatur dengan memberikan batasan mana yang boleh dan yang dilarang ketika seseorang berhubungan suami istri.
Islam sendiri memberikan apresiasi kepada pasangan suami istri yang melakukan hubungan seks. Bahkan, kalau kita ingin bersedekah tapi tidak punya uang, ajak saja istri bercinta maka itu sudah termasuk bersedekah. Makanya kalau kebetulan ingin cepat pulang ke rumah dan ditanya oleh teman kenapa? Maka jawab saja ingin bersedekah. Bila dia sudah membaca tulisan ini insya Allah dia sudah mengerti maksudnya?
Seks kok sedekah?
Ya, perhatikan hadits berikut ini:
Dalam sebuah hadits dari Abu Dzar –radhiyallahu ‘anhu- Rasulullah SAW menjelaskan kepada para sahabat bahwa banyak perbuatan baik yang bisa dikategorikan sedekah, di antaranya beliau bersabda,
“Dalam setiap hubungan intim kalian (dengan istri) ada sedekah.”
Para sahabat bertanya, “Ya Rasulullah, masa sih seorang di antara kami sekedar melampiaskan syahwat kepada istrinya akan mendapatkan pahala?”
Beliau menjawab, “Bukankah kalau ia melampiaskannya kepada orang yang tidak halal dia akan mendapat dosa?! Nah, begitulah kalau ia melampiaskannya kepada orang yang halal maka dia akan mendapat pahala.”
(HR. Muslim, no. 1006 dalam shahihnya pada kitab Zakat).
Inilah uniknya Islam, yang menjadikan segala hal yang baik sebagai ibadah. Ibadah tidak hanya dalam hal-hal sulit, dalam kesenangan pun seseorang bisa meraih pahala, seperti pada hubungan suami istri yang bila dilakukan dengan niat menjalankan sunnah Allah di muka bumi akan diganjar dengan pahala.
Posisi dan Variasi
Dalam kaidah fikih, permainan ranjang adalah urusan dunia yang tunduk pada kaidah umum, “Lakukan selama tidak ada larangan”. Makanya, penting bagi setiap individu muslim mengetahui batasan mana yang tidak diperbolehkan, baik dalam hal alat, tata cara, sampai variasi dalam gaya berhubungan suami istri.
Allah Ta’ala berfirman, “Istri-istri kalian ibarat ladang bagi kalian. Datangilah ladang itu dari arah mana saja kalian inginkan.” (Qs. Al-Baqarah [2]: 223).
Menurut para ulama tafsir ayat ini berarti membolehkan para suami bermain cinta dengan sang istri dengan gaya dan posisi apa saja, apakah dari depan, belakang, samping, atas atau bawah.
Islam membolehkan semua posisi dan variasi selama tidak ada larangan akan hal itu. Juga diperbolehkan berfantasi selama dalam batas yang dihalalkan, artinya jangan sampai berfantasi dengan menghayalkan wanita yang bukan istrinya, karena itu tidak boleh.
Tentang sebab turunnya ayat 223 surah Al-Baqarah di atas adalah sebagaimana diceritakan oleh salah seorang istri Rasulullah SAW, Ummu Salamah ra, Ketika orang-orang Muhajirin datang ke Madinah bertempat tinggal di kampung orang-orang Anshar. Mereka pun menikahi para wanita dari kalangan Anshar. Orang-orang Muhajirin ini biasa melakukan tajbiyah (dalam berhubungan seks) sedangkan orang-orang Anshar tidak terbiasa demikian. Lalu, salah seorang Muhajirin yang menikah dengan wanita Anshar ingin menggauli istrinya dengan posisi tajbiyah ini, tapi istrinya tidak mau. Sang istri kemudian mendatangi Rasulullah SAW namun dia malu bertanya langsung kepada beliau. Akhirnya, Ummu Salamahlah yang menanyakannya. Saat itulah turun ayat di atas. Lalu Rasulullah SAW mengatakan, ”Boleh saja asalkan di lubang yang sama (vagina).” (HR. Ahmad, At-Tirmidzi dan Al-Baihaqi dengan sanad yang shahih, sebagaimana kata Syaikh Al-Albani dalam kitab Adab Az-Zifaf hal. 102-103).
Posisi tajbiyah yang dimaksud dalam riwayat ini ringkasnya adalah posisi yang dikenal orang dengan nama doggy style, atau nungging. Posisi ini boleh dilakukan dengan syarat penis hanya boleh masuk ke lubang vagina, bukan lubang anus.
Hal-Hal Terlarang Seputar Behubungan Intim
1.Anal seks.
Ini diharamkan berdasarkan ijmak ulama lantaran Rasulullah SAW melarang hal itu dalam hadits-hadits beliau, antara lain, dari Khuzaimah bin Tsabit bahwa ada seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah SAW tentang menggauli istri dari belakang. Semula Nabi SAW mengatakan itu halal, tapi setelah orang itu beranjak pergi beliau memanggilnya dan berkata, ”Bagaimana pertanyaanmu tadi? Di lubang mana? Apakah di lubang qubul (vagina) atau di lubang dubur (anus)? Kalau di lubang qubul meski dari arah belakang maka itu dibolehkan. Tapi kalau di lubang dubur maka itu tidak boleh. Sesungguhnya Allah tidak malu mengatakan kebenaran, janganlah kalian menggauli wanita di lubang duburnya.” (HR. Imam asy-Syafi’i dalam musnadnya, no. 1316, cetakan Dar Al-Fikr).
Bahkan, ancaman terbesar datang dari hadits Abu Hurairah, Rasulullah saw bersabda, “Barangsiapa menyetubuhi wanita yang sedang haidh, atau melakukan anal seks, atau mendatangi peramal dan mempercayainya berarti dia telah kafir terhadap apa yang diturunkan kepada Muhammad.” (HR. At-Tirmidzi, Ahmad, Abu Daud, Ibnu Majah, Ad-Darimi).
At-Tirmidzi menerangkan maksud kata kafir di sini adalah pernyataan betapa bahayanya perbuatan itu, jadi bukan berarti kafir keluar dari Islam. (Lihat Sunan At-Tirmidzi nomor hadits 135).
2.Oral Seks dengan menelan madzi
Oral seks masih menjadi kontroversi. Ada pihak yang membolehkannya, ada pula yang melarang. Alasan yang membolehkan adalah kembali ke hukum asal bahwa segala hal yang bersifat duniawi dan tidak ada hubungannya dengan ibadah ritual hukumnya halal, kecuali bila ada dalil yang melarang. Sedangkan mereka yang melarang mengatakan hal itu tidak pantas dan menjijikkan, serta bertentangan dengan firman Allah dalam surah Al-Baqarah di atas.
3.Pemanasan dengan menonton video porno
Letak keharamannya adalah pada menonton video porno itu sendiri. Siapapun bintang filmnya yang jelas diharamkan bagi seorang muslim melihat kemaluan sesama laki-laki apalagi wanita yang bukan istrinya. Dalam adegan blue film sudah pasti seseorang akan melihat kemaluan laki-laki maupun wanita. Lebih dari itu haram pula hukumnya laki-laki menonton aurat wanita selain kemaluan, termasuk gerakannya yang merangsang. Jadi, letak keharamannya adalah pada tontonan itu sendiri.
Lagi pula ini bisa membahayakan, jangan pada saat berhubungan seks baik si suami maupun si istri membayangkan bintang film yang baru saja ditontonnya dan itu jelas merupakan zina pikiran yang diharamkan.
4.Menyetubuhi istri yang sedang haidh atau nifas.
Bagi Anda yang istrinya sedang haidh maka hendaklah bersabar. Sepertinya semua kalangan juga melarang hubungan seks di saat si wanita sedang menstruasi dengan alasan kesehatan. Inilah salah satu mukjizat Al-Qur`an yang melarang hal itu 1400 tahun yang lalu.
Hal ini sudah menjadi kesepakatan para ulama berdasarkan firman Allah,
”Mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang haidh. Katakan, dia itu penyakit maka jauhilah wanita yang sedang haidh, dan jangan dekati mereka sampai mereka suci.” (Qs. Al-Baqarah: 222).
Selain itu juga ada hadits dari Abu Hurairah yang sudah disebutkan di atas ketika membahas larangan melakukan anal seks.
Kemudian, para ulama berbeda pendapat mengenai batasan mana yang dibolehkan ketika mencumbui istri yang sedang haidh, mengingat yang diharamkan hanyalah coitus atau memasukkan kemaluan. Bagaimana dengan bercumbu atau hal lain yang dapat memuaskan hasrat suami tanpa harus melakukan penetrasi?
Pendapat yang lebih kuat –insya Allah- adalah boleh mencumbu sang istri dengan syarat kemaluannya tak boleh terbuka. Ini berdasarkan hadits dari Aisyah yang mengatakan, ”Kalau aku sedang haidh maka Rasulullah SAW menyuruhku memakai sarung (menutup bagian kemaluan dan sekitarnya) lalu beliau mencumbuku.” (HR. At-Tirmidzi, no. 132, juga diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim dengan menggunakan kata ganti orang ketiga).
Juga hadits dari Anas bahwa orang Yahudi tidak mau duduk bersama istrinya yang sedang haidh, bahkan tidak mau makan dan minum bersama mereka. Hal itu disebutkan kepada Nabi SAW, sehingga turunlah ayat 222 surah Al-Baqarah di atas dan beliau bersabda, ”Lakukan segala hal kecuali jima’ (bersetubuh).” (HR. Ibnu Majah dengan redaksi ini, no. 644).
Dalam riwayat Abu Daud dan Muslim disebutkan, ”kecuali nikah”. Artinya, boleh bercumbu tapi jangan sampai bersetubuh di kemaluan.
Dengan demikian bila ingin melampiaskan nafsu birahi padahal istri sedang haidh maka boleh melakukan cumbuan termasuk di dalamnya minta dimasturbasi oleh istri. Hal ini diperbolehkan asal jangan membayangkan wanita lain saat dimasturbasi oleh si istri. Berbeda dengan masturbasi sendiri yang kebanyakan ulama mengharamkannya kecuali darurat. Wallahu a’lam bish shawab.
Hal-Hal yang Dibolehkan Ketika Bercinta
1.Seperti bayi yang baru lahir.
Maksudnya tanpa selembar benang pun alias telanjang panjang, karena tubuh manusia tidak bulat.
Masalah ini masih menjadi perdebatan di kalangan ulama. Ada yang membolehkan ada pula yang tidak. Pendapat yang lebih kuat –insya Allah- adalah boleh, karena tidak ada dalil shahih yang melarang, sehingga dikembalikan ke hukum asal.
Ada beberapa hadits yang terkesan melarang bersetubuh dengan telanjang atau melihat kemaluan pasangan secara langsung, tapi kesemua hadits itu lemah sanadnya sehingga tidak bisa dijadikan dalil untuk mengubah hukum asal yang membolehkan.
Salah satunya adalah hadits yang berbunyi, ”Jika salah seorang dari kalian mendatangi (menyetubuhi) istrinya maka hendaklah dia bersembunyi dan jangan bertelanjang layaknya dua ekor keledai.”
Hadits ini diriwayatkan dari Abu Hurairah, Ibnu Mas’ud, Ibnu Sarjis dan Abu Umamah, Utbah bin ’Abd As-Sulami. Kesemua riwayatnya disebutkan oleh Az-Zaila’i dalam kitabnya Nashb Ar-Raayah juz 12 hal. 28 – 30 (program maktabah Syamilah) dan dia menyebutkan semua jalurnya dan menjelaskan kelemahannya. Juga disebutkan oleh Al-Haitsami dalam kitabnya Majma’ Az-Zawa`id juz 4 hal. 293 – 294 dan dia melemahkan semua yang diriwayatkan oleh Ath-Thabarani dan Al-Bazzar.
Sedangkan Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani menerangkan kelemahan beberapa jalurnya dan beberapa hadits lain yang juga melarang melihat aurat istri atau suami sendiri dalam kitab Adab Az-Zifaf, hal. 109 – 112.
Hadits lain yang senada adalah riwayat At-Tirmidzi, ”Janganlah kalian bertelanjang bulat, karena ada ada malaikat yang senantiasa tidak berpisah denganmu kecuali saat buang air dan ketika seorang laki-laki menyetubuhi istrinya. Karena itu, hendaklah kamu merasa malu dan hormatilah mereka.” Tapi hadits inipun dha’if karena dalam sanadnya ada Laits bin Abu Sulaim yang hafalannya bercampur di akhir umur, sehingga haditsnya tak bisa dipilah mana yang shahih dan mana yang tidak. (Lihat: Al-Mubarakfuri dalam kitab Tuhfat Al-Ahwadzi juz 7 hal. 111, dan Al-Albani dalam Irwa` Al-Ghalil no. 64).
2.Oral seks terbatas.
Maksud dari terbatas di sini adalah jangan sampai menelan madzi yang najis sebagaimana telah diterangkan di atas. Namun perlu dipahami bahwa hal ini masih menjadi kontroversi, sehingga bila si istri merasa jijik, maka hendaknya si suami bijaksana dan tidak memaksakan kehendak. Tapi hasrat seks seorang wanita itu sebenarnya bisa dilatih dan di sinilah perlunya kebijaksanaan seorang pria sebagai pemimpin untuk membujuk istrinya bahkan di atas ranjang.
3.Boleh melakukan ’azl.
’Azl di sini artinya mengeluarkan mani di luar vagina. Caranya, ketika sudah mendekati orgasme si suami mencabut penis dan mengeluarkan maninya di luar. Tujuannya adalah supaya tidak terjadi pembuahan. Ini adalah cara kontrasepsi yang alami dan memang pernah dilakukan para sahabat Rasulullah saw di masa beliau masih hidup, sebagaimana perkataan Jabir ra, “Kami biasa melakukan ‘azl di saat ayat-ayat al-Qur`an masih aktif diturunkan.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Beberapa Tuntunan Sunnah dalam Bersetubuh

1.Membaca doa sebelum bersetubuh.
Membaca doa sunnah dilakukan ketika hendak bersetubuh, sebaiknya sebelum melepas kemaluan, atau ketika masih pemanasan. Doanya adalah:
اللَّهُمَّ جَنِّبْنَا الشَّيْطَانَ وَجَنِّبِ الشَّيْطَانَ مَا رَزَقْنتَنَا
Allaahumma jannibnasy syaithan, wa jannibisy syaithaana maa razaqtanaa
”Ya Allah, jauhkan kami dari syetan, dan jauhkan syetan dari apa yang Kau karuniakan kepada kami.”
Bila ditakdirkan punya anak dari hasil hubungan intim yang dibacakan doa seperti itu, maka dia tidak akan diganggu syetan selamanya.” (HR. Al-Bukhari).
2.Mandi besar atau berwudhu sebelum tidur.
Biasanya seseorang langsung tidur sehabis ’bertempur’. Ini boleh saja, tapi sebaiknya langsung mandi malam itu juga sebelum tidur sebagaimana yang biasa dilakukan Rasulullah SAW. Aisyah ra, berkata, ”Rasulullah SAW bila dalam keadaan junub dan ingin tidur biasanya beliau terlebih dahulu berwudhu layaknya hendak shalat.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Umar pernah bertanya kepada Rasulullah, ”Bolehkah seorang yang sedang junub langsung tidur?” beliau menjawab, ”Boleh, hendaklah dia berwudhu kalau dia mau.” (HR. Ibnu Hibban dengan redaksi seperti ini).
3.Bila hendak melakukan ronde kedua disunnahkan berwudhu terlebih dahulu.
Ini berdasarkan hadits dari Abu Sa’id Al-Khudri ra, Rasulullah SAW bersabda, ”Apabila salah seorang dari kalian menggauli istrinya, lalu hendak mengulangi lagi (ronde kedua) maka hendaklah dia berwudhu terlebih dahulu.” (HR. Muslim, Abu Daud, At-Tirmidzi, An-Nasa`i, Ibnu Majah dan Ahmad). Dalam sebuah riwayat, hikmah dari wudhu ini adalah lebih meningkatkan kekuatan di ronde kedua.
4.Dilarang menceritakan proses hubungan suami istri.
Terkadang ada orang yang dengan bangga menceritakan bagaimana dia melakukan adegan ranjang dengan pasangannya, dan ini cukup sering terjadi baik oleh pria maupun wanita. Atau dia menceritakan bagian tubuh pasangannya itu.
Perbuatan ini jelas diharamkan dalam islam berdasarkan beberapa hadits yang mengecam hal ini, antara lain hadits dari Abu Sa’id Al-Khudri ra, Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya orang yang paling tercela kedudukannya di sisi Allah pada hari kiamat adalah orang yang menggauli istrinya kemudian menceritakannya (ke orang lain).” (HR. Muslim, no. 1437).
Dalam hadits lain Rasulullah SAW mengumpamakan orang ini seperti syetan jantan dan betina yang berbuat mesum di tengah jalan di hadapan orang banyak.
Anshari Taslim.
Pernah dimuat di majalah GOZIAN edisi keempat Januari 2009.

2 Comment

Kewajiban pakai kerudung dan jilbab untuk wanita

Kewajiban pakai kerudung dan jilbab untuk wanita
 Definisi Aurat
Menurut pengertian bahasa (literal), aurat adalah al-nuqshaan wa al-syai’ al-mustaqabbih (kekurangan dan sesuatu yang mendatangkan celaan). Diantara bentuk pecahan katanya adalah ‘awara`, yang bermakna qabiih (tercela); yakni aurat manusia dan semua yang bisa menyebabkan rasa malu. Disebut aurat, karena tercela bila terlihat (ditampakkan).

Imam al-Raziy, dalam kamus Mukhtaar al-Shihaah hal 461, menyatakan, “‘al-aurat: sau`atu al-insaan wa kullu maa yustahyaa minhu (aurat adalah aurat manusia dan semua hal yang menyebabkan malu.”
Dalam Syarah Sunan Ibnu Majah juz 1/276, disebutkan, bahwa aurat adalah kullu maa yastahyii minhu wa yasuu`u shahibahu in yura minhu (setiap yang menyebabkan malu, dan membawa aib bagi pemiliknya jika terlihat)”.
Imam Syarbiniy dalam kitab Mughniy al-Muhtaaj, berkata,” Secara literal, aurat bermakna al-nuqshaan (kekurangan) wa al-syai`u al-mustaqbihu (sesuatu yang menyebabkan celaan). Disebut seperti itu, karena ia akan menyebabkan celaan jika terlihat.
Dalam kamus Lisaan al-’Arab juz 4/616, disebutkan, “Kullu ‘aib wa khalal fi syai’ fahuwa ‘aurat (setiap aib dan cacat cela pada sesuatu disebut dengan aurat). Wa syai` mu’wirun au ‘awirun: laa haafidza lahu (sesuatu itu tidak memiliki penjaga (penahan)).”
Imam Syaukani, di dalam kitab Fath al-Qadiir, menyatakan;
Makna asal dari aurat adalah al-khalal (aib, cela, cacat). Setelah itu, makna aurat lebih lebih banyak digunakan untuk mengungkapkan aib yang terjadi pada sesuatu yang seharusnya dijaga dan ditutup, yakni tiga waktu ketika penutup dibuka. Al-A’masy membacanya dengan huruf wawu difathah; ‘awaraat. Bacaan seperti ini berasal dari bahasa suku Hudzail dan Tamim.”
Batasan Aurat bagi Wanita
Batasan Aurat Menurut Madzhab Syafi’iy
Di dalam kitab al-Muhadzdzab juz 1/64, Imam al-Syiraaziy berkata;
Hadits yang diriwayatkan dari Abu Sa’id al-Khuduriy, bahwasanya Nabi saw bersabda, “Aurat laki-laki adalah antara pusat dan lutut. Sedangkan aurat wanita adalah seluruh badannya, kecuali muka dan kedua telapak tangan.”
Mohammad bin Ahmad al-Syasyiy, dalam kitab Haliyat al-’Ulama berkata;
“.. Sedangkan aurat wanita adalah seluruh badan, kecuali muka dan kedua telapak tangan.”
Al-Haitsamiy, dalam kitab Manhaj al-Qawiim juz 1/232, berkata;
“..Sedangkan aurat wanita merdeka, masih kecil maupun dewasa, baik ketika sholat, berhadapan dengan laki-laki asing (non mahram) walaupun di luarnya, adalah seluruh badan kecuali muka dan kedua telapak tangan.”
Dalam kitab al-Umm juz 1/89 dinyatakan;
” ….Aurat perempuan adalah seluruh badannya, kecuali muka dan kedua telapak tangan.”
Al-Dimyathiy, dalam kitab I’aanat al-Thaalibiin, menyatakan;
“..aurat wanita adalah seluruh badan kecuali muka dan telapak tangan”.
Di dalam kitab Mughniy al-Muhtaaj, juz 1/185, Imam Syarbiniy menyatakan;
” …Sedangkan aurat wanita adalah seluruh tubuh selain wajah dan kedua telapak tangan…”
Batasan Aurat Menurut Madzhab Hanbaliy
Di dalam kitab al-Mubadda’, Abu Ishaq menyatakan;
Aurat laki-laki dan budak perempuan adalah antara pusat dan lutut. Hanya saja, jika warna kulitnya yang putih dan merah masih kelihatan, maka ia tidak disebut menutup aurat. Namun, jika warna kulitnya tertutup, walaupun bentuk tubuhnya masih kelihatan, maka sholatnya sah. Sedangkan aurat wanita merdeka adalah seluruh tubuh, hingga kukunya. Ibnu Hubairah menyatakan, bahwa inilah pendapat yang masyhur. Al-Qadliy berkata, ini adalah pendapat Imam Ahmad; berdasarkan sabda Rasulullah, “Seluruh badan wanita adalah aurat” [HR. Turmudziy, hasan shahih]….Dalam madzhab ini tidak ada perselisihan bolehnya wanita membuka wajahnya di dalam sholat, seperti yang telah disebutkan. di dalam kitab al-Mughniy, dan lain-lainnya.”[1]
Di dalam kitab al-Mughniy, juz 1/349, Ibnu Qudamah menyatakan, bahwa
Mayoritas ulama sepakat bahwa seorang wanita boleh membuka wajah dan mereka juga sepakat; seorang wanita mesti mengenakan kerudung yang menutupi kepalanya. Jika seorang wanita sholat, sedangkan kepalanya terbuka, ia wajib mengulangi sholatnya….Abu Hanifah berpendapat, bahwa kedua mata kaki bukanlah termasuk aurat..Imam Malik, Auza’iy, dan Syafi’iy berpendirian; seluruh tubuh wanita adalah aurat, kecuali muka dan kedua telapak tangan. Selain keduanya (muka dan telapak tangan) wajib untuk ditutup ketika hendak mengerjakan sholat…”
Di dalam kitab al-Furuu juz 1/285′, karya salah seorang ulama Hanbaliy, dituturkan sebagai berikut;
“Seluruh tubuh wanita merdeka adalah aurat kecuali muka, dan kedua telapak tangan –ini dipilih oleh mayoritas ulama…..”
Batasan Aurat Menurut Madzhab Malikiy
Dalam kitab Kifayaat al-Thaalib juz 1/215, Abu al-Hasan al-Malikiy menyatakan, ““Aurat wanita merdeka adalah seluruh tubuh, kecuali muka dan kedua telapak tangan..”.
Dalam Hasyiyah Dasuqiy juz 1/215, dinyatakaN, “Walhasil, aurat haram untuk dilihat meskipun tidak dinikmati. Ini jika aurat tersebut tidak tertutup. Adapun jika aurat tersebut tertutup, maka boleh melihatnya. Ini berbeda dengan menyentuh di atas kain penutup; hal ini (menyentuh aurat yang tertutup) tidak boleh jika kain itu bersambung (melekat) dengan auratnya, namun jika kain itu terpisah dari auratnya, …sedangkan aurat wanita muslimah adalah selain wajah dan kedua telapak tangan…”
Dalam kitab Syarah al-Zarqaaniy, disebutkan, “Yang demikian itu diperbolehkan.Sebab, aurat wanita adalah seluruh tubuh kecuali muka dan telapak tangan…”
Mohammad bin Yusuf, dalam kitab al-Taaj wa al-Ikliil, berkata, “….Aurat budak perempuan adalah seluruh tubuh kecuali wajah dan kedua telapak tangan dan tempat kerudung (kepala)…Untuk seorang wanita, boleh ia menampakkan kepada wanita lain sebagaimana ia boleh menampakkannya kepada laki-laki –menurut Ibnu Rusyd, tidak ada perbedaan pendapat dalam hal ini-, wajah dan kedua telapak tangan..”
Batasan Aurat Menurut Madzhab Hanafiy
Abu al-Husain, dalam kitab al-Hidayah Syarh al-Bidaayah mengatakan;
Adapun aurat laki-laki adalah antara pusat dan lututnya…ada pula yang meriwayatkan bahwa selain pusat hingga mencapai lututnya. Dengan demikian, pusat bukanlah termasuk aurat. Berbeda dengan apa yang dinyatakan oleh Imam Syafi’iy ra, lutut termasuk aurat. Sedangkan seluruh tubuh wanita merdeka adalah aurat kecuali muka dan kedua telapak tangan…”[2]
Dalam kitab Badaai’ al-Shanaai’ disebutkan;
Oleh karena itu, menurut madzhab kami, lutut termasuk aurat, sedangkan pusat tidak termasuk aurat. Ini berbeda dengan pendapat Imam Syafi’iy. Yang benar adalah pendapat kami, berdasarkan sabda Rasulullah saw, “Apa yang ada di bawah pusat dan lutut adalah aurat.” Ini menunjukkan bahwa lutut termasuk aurat.”[3]
Aurat Wanita; Seluruh Tubuh Selain Muka dan Kedua Telapak Tangan
Jumhur ‘ulama bersepakat; aurat wanita meliputi seluruh tubuh, kecuali muka dan kedua telapak tangan. Dalilnya adalah firman Allah swt:
وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ ءَابَائِهِنَّ أَوْ ءَابَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوِ التَّابِعِينَ غَيْرِ أُولِي الْإِرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ أَوِ الطِّفْلِ الَّذِينَ لَمْ يَظْهَرُوا عَلَى عَوْرَاتِ النِّسَاءِ وَلَا يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِينَ مِنْ زِينَتِهِنَّ وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَا الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak daripadanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.”[al-Nuur:31]
Menurut Imam Thabariy dalam Tafsir al-Thabariy, juz 18/118, makna yang lebih tepat untuk “perhiasan yang biasa tampak” adalah muka dan telapak tangan. Keduanya bukanlah aurat, dan boleh ditampakkan di kehidupan umum. Sedangkan selain muka dan telapak tangan adalah aurat, dan tidak boleh ditampakkan kepada laki-laki asing, kecuali suami dan mahram. Penafsiran semacam ini didasarkan pada sebuah riwayat shahih; Aisyah ra telah menceritakan, bahwa Asma binti Abu Bakar masuk ke ruangan wanita dengan berpakaian tipis, maka Rasulullah saw. pun berpaling seraya berkata;
يَا أَسْمَاءُ إِنَّ الْمَرْأَةَ إِذَا بَلَغَتْ الْمَحِيضَ لَمْ تَصْلُحْ أَنْ يُرَى مِنْهَا إِلَّا هَذَا وَهَذَا وَأَشَارَ إِلَى وَجْهِهِ وَكَفَّيْهِ
Wahai Asma’ sesungguhnya perempuan itu jika telah baligh tidak pantas menampakkan tubuhnya kecuali ini dan ini, sambil menunjuk telapak tangan dan wajahnya.”[HR. Muslim]
Imam Qurthubiy Tafsir Qurthubiy, juz 12/229; Imam Al-Suyuthiy, Durr al-Mantsuur, juz 6/178-182; Zaad al-Masiir, juz 6/30-32; menyatakan, bahwa ayat di atas merupakan perintah dari Allah swt kepada wanita Mukminat agar tidak menampakkan perhiasannya kepada para laki-laki penglihat, kecuali hal-hal yang dikecualikan bagi para laki-laki penglihat. Selanjutnya, Allah swt mengecualikan perhiasan-perhiasan yang boleh dilihat oleh laki-laki penglihat, pada frase selanjutnya. Hanya saja, para ulama berbeda pendapat mengenai batasan perhiasan yang boleh ditampakkan oleh wanita. Ibnu Mas’ud mengatakan, bahwa maksud frase “illa ma dzahara minha” adalah dzaahir al-ziinah” (perhiasan dzahir), yakni baju. Sedangkan menurut Ibnu Jabir adalah baju dan wajah. Sa’id bin Jabiir, ‘Atha’ dan Auza’iy berpendapat; muka, kedua telapak tangan, dan baju.
Menurut Imam al-Nasafiy, yang dimaksud dengan “al-ziinah” (perhiasan) adalah semua yang digunakan oleh wanita untuk berhias, misalnya, cincin, kalung, gelang, dan sebagainya. Sedangkan yang dimaksud dengan “al-ziinah” (perhiasan) di sini adalah “mawaadli’ al-ziinah” (tempat menaruh perhiasan). Artinya, maksud dari ayat di atas adalah “janganlah kalian menampakkan anggota tubuh yang biasa digunakan untuk menaruh perhiasan, kecuali yang biasa tampak; yakni muka, kedua telapak tangan, dan dua mata kaki”[4].
Syarat-syarat Menutup Aurat
Menutup aurat harus dilakukan hingga warna kulitnya tertutup. Seseorang tidak bisa dikatakan melakukan “satru al-’aurat” (menutup aurat) jika auratnya sekedar ditutup dengan kain atau sesuatu yang tipis hingga warna kulitnya masih tampak kehilatan. Dalil yang menunjukkan ketentuan ini adalah sebuah hadits yang diriwayatkan dari ‘Aisyah ra, ra bahwasanya Asma’ binti Abubakar telah masuk ke ruangan Nabi saw dengan berpakaian tipis/transparan, lalu Rasulullah saw. berpaling seraya bersabda, “Wahai Asma sesungguhnya seorang wanita itu apabila telah baligh (haidl) tidak pantas baginya untuk menampakkan tubuhnya kecuali ini dan ini.”
Dalam hadits ini, Rasulullah saw. menganggap bahwa Asma’ belum menutup auratnya, meskipun Asma telah menutup auratnya dengan kain transparan. Oleh karena itu lalu Nabi saw berpaling seraya memerintahkannya menutupi auratnya, yaitu mengenakan pakaian yang dapat menutupi . Dalil lain yang menunjukkan masalah ini adalah hadits riwayat Usamah, bahwasanya ia ditanyai oleh Nabi saw tentang kain tipis. Usamah menjawab, bahwasanya ia telah mengenakannya terhadap isterinya, maka Rasulullah saw. bersabda kepadanya:
Suruhlah isterimu melilitkan di bagian dalam kain tipis, karena sesungguhnya aku khawatir kalau-kalau nampak lekuk tubuhnya.”
Qabtiyah dalam lafadz di atas adalah sehelai kain tipis. Oleh karena itu tatkala Rasulullah saw. mengetahui bahwa­sanya Usamah mengenakan kepada isterinya kain tipis, beliau memerintahkan agar kain itu dikenakan pada bagian dalam kain supaya tidak kelihatan warna kulitnya. Beliau bersabda,”Suruhlah ister­imu melilitkan di bagian dalamnya kain tipis.” Kedua hadits ini menunjukkan dengan sangat jelas, bahwasanya aurat harus ditutup dengan sesuatu, hingga warna kulitnya tidak tampak.
Khimar (Kerudung) dan Jilbab; Busana Wanita Di Luar Rumah
Selain memerintahkan wanita untuk menutup auratnya, syariat Islam juga mewajibkan wanita untuk mengenakan busana khusus ketika hendak keluar rumah. Sebab, Islam telah mensyariatkan pakaian tertentu yang harus dikenakan wanita ketika berada depan khalayak umum. Kewajiban wanita mengenakan busana Islamiy ketika keluar rumah merupakan kewajiban tersendiri yang terpisah dari kewajiban menutup aurat. Dengan kata lain, kewajiban menutup aurat adalah satu sisi, sedangkan kewajiban mengenakan busana Islamiy (jilbab dan khimar) adalah kewajiban di sisi yang lain. Dua kewajiban ini tidak boleh dicampuradukkan, sehingga muncul persepsi yang salah terhadap keduanya.
Dalam konteks “menutup aurat” (satru al-’aurat), syariat Islam tidak mensyaratkan bentuk pakaian tertentu, atau bahan tertentu untuk dijadikan sebagai penutup aurat. Syariat hanya mensyaratkan agar sesuatu yang dijadikan penutup aurat, harus mampu menutupi warna kulit. Oleh karena itu, seorang wanita Muslim boleh saja mengenakan pakaian dengan model apapun, semampang bisa menutupi auratnya secara sempurna. Hanya saja, ketika ia hendak keluar dari rumah, ia tidak boleh pergi dengan pakaian sembarang, walaupun pakaian itu bisa menutupi auratnya dengan sempurna. Akan tetapi, ia wajib mengenakan khimar (kerudung) dan jilbab yang dikenakan di atas pakaian biasanya. Sebab, syariat telah menetapkan jilbab dan khimar sebagai busana Islamiy yang wajib dikenakan seorang wanita Muslim ketika berada di luar rumah, atau berada di kehidupan umum.
Walhasil, walaupun seorang wanita telah menutup auratnya, yakni menutup seluruh tubuhnya, kecuali muka dan kedua telapak tangan, ia tetap tidak boleh keluar keluar dari rumah sebelum mengenakan khimar dan jilbab.
Perintah Mengenakan Khimar
Pakaian yang telah ditetapkan oleh syariat Islam bagi wanita ketika ia keluar di kehidupan umum adalah khimar dan jilbab. Dalil yang menunjukkan perintah ini adalah firman Allah swt;
وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ
“Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya..”[al-Nuur:31]
Ayat ini berisi perintah dari Allah swt agar wanita mengenakan khimar (kerudung), yang bisa menutup kepala, leher, dan dada.
Imam Ibnu Mandzur di dalam kitab Lisaan al-’Arab menuturkan; al-khimaar li al-mar`ah : al-nashiif (khimar bagi perempuan adalah al-nashiif (penutup kepala). Ada pula yang menyatakan; khimaar adalah kain penutup yang digunakan wanita untuk menutup kepalanya. Bentuk pluralnya adalah akhmirah, khumr atau khumur. [5]
Khimar (kerudung) adalah ghitha’ al-ra’si ‘ala shudur (penutup kepala hingga mencapai dada), agar leher dan dadanya tidak tampak.[6]
Dalam Kitab al-Tibyaan fi Tafsiir Ghariib al-Quran dinyatakan;
Khumurihinna, bentuk jamak (plural) dari khimaar, yang bermakna al-miqna’ (penutup kepala). Dinamakan seperti itu karena, kepala ditutup dengannya (khimar)..”[7]
Ibnu al-’Arabiy di dalam kitab Ahkaam al-Quran menyatakan, “Jaib” adalah kerah baju, dan khimar adalah penutup kepala . Imam Bukhari meriwayatkan sebuah hadits dari ‘Aisyah ra, bahwasanya ia berkata, “Semoga Allah mengasihi wanita-wanita Muhajir yang pertama. Ketika diturunkan firman Allah swt “Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung mereka ke dada mereka”, mereka membelah kain selendang mereka”. Di dalam riwayat yang lain disebutkan, “Mereka membelah kain mereka, lalu berkerudung dengan kain itu, seakan-akan siapa saja yang memiliki selendang, dia akan membelahnya selendangnya, dan siapa saja yang mempunyai kain, ia akan membelah kainnya.” Ini menunjukkan, bahwa leher dan dada ditutupi dengan kain yang mereka miliki.”[8]
Di dalam kitab Fath al-Baariy, al-Hafidz Ibnu Hajar menyatakan, “Adapun yang dimaksud dengan frase “fakhtamarna bihaa” (lalu mereka berkerudung dengan kain itu), adalah para wanita itu meletakkan kerudung di atas kepalanya, kemudian menjulurkannya dari samping kanan ke pundak kiri. Itulah yang disebut dengan taqannu’ (berkerudung). Al-Farra’ berkata,”Pada masa jahiliyyah, wanita mengulurkan kerudungnya dari belakang dan membuka bagian depannya. Setelah itu, mereka diperintahkan untuk menutupinya. Khimar (kerudung) bagi wanita mirip dengan ‘imamah (sorban) bagi laki-laki.” [9]
Imam Ibnu Katsir dalam Tafsir Ibnu Katsir menyatakan;
Khumur adalah bentuk jamak (plural) dari khimaar; yakni apa-apa yang bisa menutupi kepala. Khimaar kadang-kadang disebut oleh masyarakat dengan kerudung (al-miqaana’), Sa’id bin Jabir berkata, “wal yadlribna : walyasydadna bi khumurihinna ‘ala juyuubihinna, ya’ni ‘ala al-nahr wa al-shadr, fa laa yara syai` minhu (walyadlribna : ulurkanlah kerudung-kerudung mereka di atas kerah mereka, yakni di atas leher dan dada mereka, sehingga tidak terlihat apapun darinya).”[10]
Imam Syaukaniy dalam Fath al-Qadiir, berkata;
Khumur adalah bentuk plural dari khimar; yakni apa-apa yang digunakan penutup kepala oleh seorang wanita..al-Juyuub adalah bentuk jamak dari jaib yang bermakna al-qath’u min dur’u wa al-qamiish (kerah baju)..Para ahli tafsir mengatakan; dahulu, wanita-wanita jahiliyyah menutupkan kerudungnya ke belakang, sedangkan kerah baju mereka bagian depan terlalu lebar (luas), hingga akhirnya, leher dan kalung mereka terlihat. Setelah itu, mereka diperintahkan untuk mengulurkan kain kerudung mereka di atas dada mereka untuk menutup apa yang selama ini tampak”.[11]
Dalam kitab Zaad al-Masiir, dituturkan;
Khumur adalah bentuk jamak dari khimar, yakni maa tughthiy bihi al-mar`atu ra`sahaa (apa-apa yang digunakan wanita untuk menutupi kepalanya). Makna ayat ini (al-Nuur:31) adalah hendaknya para wanita itu menjulurkan kerudungnya (al-miqna’) di atas dada mereka; yang dengan itu, mereka bisa menutupi rambut, anting-anting, dan leher mereka.”[12]
Perintah Mengenakan Jilbab
Adapun kewajiban mengenakan jilbab bagi wanita Mukminat dijelaskan di dalam surat al-Ahzab ayat 59. Allah swt berfirman :
يَاأَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا
“Hai Nabi katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mu’min: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha pengampun lagi Maha penyayang”.[al-Ahzab:59]
Ayat ini merupakan perintah yang sangat jelas kepada wanita-wanita Mukminat untuk mengenakan jilbab. Adapun yang dimaksud dengan jilbab adalah milhafah (baju kurung) dan mula’ah (kain panjang yang tidak berjahit). Di dalam kamus al-Muhith dinyatakan, bahwa jilbab itu seperti sirdaab (terowongan) atau sinmaar (lorong), yakni baju atau pakaian longgar bagi wanita selain baju kurung atau kain apa saja yang dapat menutup pakaian kesehariannya seperti halnya baju kurung.”[Kamus al-Muhith]. Sedangkan dalam kamus al-Shahhah, al-Jauhari mengatakan, “jilbab adalah kain panjang dan longgar (milhafah) yang sering disebut dengan mula’ah (baju kurung).”[Kamus al-Shahhah, al-Jauhariy]
Di dalam kamus Lisaan al-’Arab dituturkan; al-jilbab ; al-qamish (baju); wa al-jilbaab tsaub awsaa’ min al-khimaar duuna ridaa’ tughthi bihi al-mar`ah ra’sahaa wa shadrahaa (baju yang lebih luas daripada khimar, namun berbeda dengan ridaa’, yang dikenakan wanita untuk menutupi kepala dan dadanya.” Ada pula yang mengatakan al-jilbaab: tsaub al-waasi’ duuna milhafah talbasuhaa al-mar`ah (pakaian luas yang berbeda dengan baju kurung, yang dikenakan wanita). Ada pula yang menyatakan; al-jilbaab : al-milhafah (baju kurung).[13]
Al-Zamakhsyariy, dalam tafsir al-Kasysyaf menyatakan, “Jilbab adalah pakaian luas, dan lebih luas daripada kerudung, namun lebih sempit daripada rida’ (juba).[14]
Imam Qurthubiy di dalam Tafsir Qurthubiy menyatakan, “Jilbaab adalah tsaub al-akbar min al-khimaar (pakaian yang lebih besar daripada kerudung). Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas dan Ibnu Mas’ud, jilbaab adalah ridaa’ (jubah atau mantel). Ada pula yang menyatakan ia adalah al-qanaa’ (kerudung). Yang benar, jilbab adalah tsaub yasturu jamii’ al-badan (pakaian yang menutupi seluruh badan). Di dalam shahih Muslim diriwayatkan sebuah hadits dari Ummu ‘Athiyyah, bahwasanya ia berkata, “Ya Rasulullah , salah seorang wanita diantara kami tidak memiliki jilbab. Nabi menjawab,”Hendaknya, saudaranya meminjamkan jilbab untuknya”.[15]
Dalam Tafsir Ibnu Katsir, Imam Ibnu Katsir menyatakan, “al-jilbaab huwa al-ridaa` fauq al-khimaar (jubah yang dikenakan di atas kerudung). Ibnu Mas’ud, ‘Ubaidah, Qatadah, al-Hasan al-Bashriy, Sa’id bin Jabiir, Ibrahim al-Nakha’iy, ‘Atha’ al-Khuraasaniy, dan lain-lain, berpendapat bahwa jilbab itu kedudukannya sama dengan (al-izaar) sarung pada saat ini. Al-Jauhariy berkata, “al-Jilbaab; al-Milhafah (baju kurung).”[16]
Imam Syaukani, dalam Tafsir Fathu al-Qadiir, mengatakan;
Al-jilbaab wa huwa al-tsaub al-akbar min al-khimaar (pakaian yang lebih besar dibandingkan kerudung). Al-Jauhari berkata, “al-Jilbaab; al-milhafah (baju kurung). Ada yang menyatakan al-qanaa’ (kerudung), ada pula yang menyatakan tsaub yasturu jamii’ al-badan al-mar`ah.”[17]
Al-Hafidz al-Suyuthiy dalam Tafsir Jalalain berkata;
” Jilbaab adalah al-mulaa`ah (kain panjang yang tak berjahit) yang digunakan selimut oleh wanita, yakni, sebagiannya diulurkan di atas wajahnya, jika seorang wanita hendak keluar untuk suatu keperluan, hingga tinggal satu mata saja yang tampak”[18]
Ancaman Bagi Orang yang Membuka Auratnya
Imam Muslim menuturkan sebuah riwayat, bahwasanya Rasulullah saw bersabda;
صِنْفَانِ مِنْ أَهْلِ النَّارِ لَمْ أَرَهُمَا قَوْمٌ مَعَهُمْ سِيَاطٌ كَأَذْنَابِ الْبَقَرِ يَضْرِبُونَ بِهَا النَّاسَ وَنِسَاءٌ كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ مُمِيلَاتٌ مَائِلَاتٌ رُءُوسُهُنَّ كَأَسْنِمَةِ الْبُخْتِ الْمَائِلَةِ لَا يَدْخُلْنَ الْجَنَّةَ وَلَا يَجِدْنَ رِيحَهَا وَإِنَّ رِيحَهَا لَيُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ كَذَا وَكَذَا
Ada dua golongan manusia yang menjadi penghuni neraka, yang sebelumnya aku tidak pernah melihatnya; yakni, sekelompok orang yang memiliki cambuk seperti ekor sapi yang digunakan untuk menyakiti umat manusia; dan wanita yang membuka auratnya dan berpakaian tipis merangsang berlenggak-lenggok dan berlagak, kepalanya digelung seperti punuk onta. Mereka tidak akan dapat masuk surga dan mencium baunya. Padahal, bau surga dapat tercium dari jarak sekian-sekian.”[HR. Imam Muslim].
Di dalam Syarah Shahih Muslim, Imam Nawawiy berkata, “Hadits ini termasuk salah satu mukjizat kenabian. Sungguh, akan muncul kedua golongan itu. Hadits ini bertutur tentang celaan kepada dua golongan tersebut. Sebagian ‘ulama berpendapat, bahwa maksud dari hadits ini adalah wanita-wanita yang ingkar terhadap nikmat, dan tidak pernah bersyukur atas karunia Allah. Sedangkan ulama lain berpendapat, bahwa mereka adalah wanita-wanita yang menutup sebagian tubuhnya, dan menyingkap sebagian tubuhnya yang lain, untuk menampakkan kecantikannya atau karena tujuan yang lain. Sebagian ulama lain berpendapat, mereka adalah wanita yang mengenakan pakaian tipis yang menampakkan warna kulitnya (transparan)…Kepala mereka digelung dengan kain kerudung, sorban, atau yang lainnya, hingga tampak besar seperti punuk onta.”
Imam Ahmad juga meriwayatkan sebuah hadits dari Abu Hurairah dengan redaksi berbeda.
صِنْفَانِ مِنْ أَهْلِ النَّارِ لَا أَرَاهُمَا بَعْدُ نِسَاءٌ كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ مَائِلَاتٌ مُمِيلَاتٌ عَلَى رُءُوسِهِنَّ مِثْلُ أَسْنِمَةِ الْبُخْتِ الْمَائِلَةِ لَا يَرَيْنَ الْجَنَّةَ وَلَا يَجِدْنَ رِيحَهَا وَرِجَالٌ مَعَهُمْ أَسْوَاطٌ كَأَذْنَابِ الْبَقَرِ يَضْرِبُونَ بِهَا النَّاسَ
Ada dua golongan penghuni neraka, yang aku tidak pernah melihat keduanya sebelumnya. Wanita-wanita yang telanjang, berpakaian tipis, dan berlenggak-lenggok, dan kepalanya digelung seperti punuk onta. Mereka tidak akan masuk surga, dan mencium baunya. Dan laki-laki yang memiliki cambuk seperti ekor sapi yang digunakan untuk menyakiti umat manusia “[HR. Imam Ahmad]
Hadits-hadits di atas merupakan ancaman yang sangat keras bagi wanita yang menampakkan sebagian atau keseluruhan auratnya, berbusana tipis, dan berlenggak-lenggok.
Kesimpulan
Syariat Islam telah mewajibkan wanita untuk menutup anggota tubuhnya yang termasuk aurat. Seorang wanita diharamkan menampakkan auratnya di kehidupan umum, di hadapan laki-laki non mahram, atau ketika ia melaksanakan ibadah-ibadah tertentu yang mensyaratkan adanya satru al-’aurat (menutup aurat).
Aurat wanita adalah seluruh tubuh kecuali muka dan kedua telapak tangan. Seseorang baru disebut menutup aurat, jika warna kulit tubuhnya tidak lagi tampak dari luar. Dengan kata lain, penutup yang digunakan untuk menutup aurat tidak boleh transparan hingga warna kulitnya masih tampak; akan tetapi harus mampu menutup warna kulit.
Ancaman bagi yang tidak menurut aurat adalah tidak mencium bau surge alias neraka, karena tidak amanah, tidak tunduk kepada aturan sang Kholik.[Arief Adiningrat]


[1] Abu Ishaq, al-Mubadda’, juz 1/360-363. Diskusi masalah ini sangatlah panjang. Menurut Ibnu Hubairah dan Imam Ahmad, dalam satu riwayat; aurat wanita adalah seluruh tubuh, kecuali wajah dan kedua telapak tangannya. Sedangkan dalam riwayat lain Imam Ahmad menyatakan, bahwa seluruh badan wanita adalah aurat.[Ibnu Hubairah, al-Ifshaah 'an Ma'aaniy al-Shihaah, juz 1/86
Abu al-Husain, al-Hidaayah Syarh al-Bidaayah, juz 1/43
[3] al-Kaasaaniy, Badaai’ al-Shanaai’, juz 5/123
[4] Imam al-Nasafiy, tafsir al-Nasaafiy, juz 3/143. Dalam kitab Ruuh al-Ma’aaniy, juz 18/140, dituturkan, “Diungkapkan dengan perkataan “al-ziinah” (perhiasan), bukan “anggota tubuh tempat menaruh perhiasan”, ditujukan untuk memberikan kesan penyangatan dalam hal perintah untuk menutup aurat.. Sedangkan yang boleh ditampakkan adalah muka dan kedua telapak tangan.. Imam Ibnu Katsir, dalam Tafsir Ibnu Katsir, juz 3/285, menyatakan; menurut jumhur ulama tafsir, “illa ma dzahara minhaa” diartikan muka dan kedua telapak tangan.
[5] Imam Ibnu Mandzur, Lisaan al-’Arab, juz 4/257
[6] Imam Ali al-Shabuniy, Shafwaat al-Tafaasir, juz 2/336
[7] al-Tibyaan fi Tafsiir Ghariib al-Quran, juz 1/311
[8] Ibnu al-’Arabiy, Ahkaam al-Quraan, jilid III/1369
[9] al-Hafidz Ibnu Hajar, Fath al-Baariy, juz 10/106
[10] Imam Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsiir, juz 3/285; lihat juga Imam Thabariy, Tafsir al-Thabariy, juz 18/120; Durr al-Mantsur, juz 6/182
[11] Imam Syaukaniy, Fath al-Qadiir, juz 4/23
[12] Ibnu Jauziy, Zaad al-Masiir, juz 6/32; Imam Nasafiy, Tafsir al-Nasaafiy, juz 3/143; Ruuh al-Ma’aaniy, juz 18/142
[13] Imam Ibnu Mandzur, Lisaan al-’Arab, juz 1/272
[14] Imam Zamakhsyariy, Tafsir al-Kasysyaf, juz
[15] Imam Qurthubiy, Tafsir al-Qurthubiy, juz 14/243
[16] Imam Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, juz 3/519
[17] Imam Syaukaniy, Fath al-Qadiir, juz 4/304
[18] Imam al-Suyuthiy, Tafsir Jalalain, juz 1/560



Source : Source
0 Comment
 
Support : Nasution Pku | Nasutioncyber
Copyright © 2014. NasutionCyber.Blogspot.com - All Rights Reserved